Kamis, 23 Desember 2010

Hak Penanggalan kalender Hijriah

Kita semua mengetahui bahwa puasa pada hari raya adalah haram. akan tetapi ketika terjadi perbedaan penentuan ied (baik itu iedul fitri atau iedul adha) maka kita kembali pada yang kita ikuti. dan sebelumnya kita harus memahami asal dan sebab perbadaan tersebut.

Perbedaan penetapan iedul fitri atau adha yang banyak terjadi. itu tidak lepas dari perbedaan pendapat para ulama terdahulu tentang penganggapan mathla' hilal, yaitu apakah perbedaan waktu munculnya hilal diberbagai tempat. contoh ketika hilal muncul di Arab Saudi hari senin, akan tetapi baru terlihat di Indonesia hari selasa.

Semua ulama sepakat bahwa setiap daerah/negara memiliki mathla' hilal sendiri-sendiri. akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah berbedanya mathla' dapat mempengaruhi penetapan tanggal hijriyah masing-masing daerah/negara?

Jumhur ulama berpendapat bahwa perbedaan mathla' hilal tidak dianggap atau tidak berpengaruh terhadap penentuan tanggal hijriyah. itu berarti ketika hilal telah nampak di Arab Saudi (berdasarkan persaksian 2 orang yang adil) maka itu berlaku disemua negara islam diseluruh dunia.

Dan yang masyhur dalam madzhab Syafi'i bahwa perbedaan mathla' hilal berpengaruh pada penanggalan tiap-tiap daerah/negara. dengan kata lain bahwa setiap daerah/negara boleh menetapkan tanggal hijriyahnya sendiri-sendiri berdasarkan mathla' hilalnya masing-masing. pendapat ini didasari hadits masyhur dari Ibnu Abbas yang ketika itu iedul fitri di Syam satu hari lebih dulu dari pada di Madinah. dan ketika beliau ditanya mengapa hari iednya tidak disamakan saja dengan Syam? beliau menjawab beginilah Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- mengajari kami.

Contohnya hilal nampak di Arab Saudi hari senin tanggal 16 dan baru nampak di Indonesia hari selasa tanggal 17. maka awal bulan di Arab Saudi sehari lebih dulu dari pada di Indonesia. dan sejauh yang saya ketahui bahwa MUI dalam penetapan-penetapan tersebut menggunakan pendapat dari madzhab Syafi'i yaitu menganggap berbedaan hilal dalam penentuan awal bulan hijriyah bagi setiap daerah/negara.

- Puasa dihari raya yang diperdebatkan

Bagi kita sebagai warga suatu daerah, maka hukum kita mengikuti apa yang ditetapkan daerah tempat kita tinggal. ketika anda tinggal di Indonesia, dan pemerintah telah resmi menetapkan hari raya pada hari selasa contohnya. sedangkan Arab Saudi menetapkan hari raya pada hari senin. maka penduduk Arab Saudi dan semua orang yang tinggal disana waktu itu merayakan hari raya pada hari senin dan diharamkan bagi mereka puasa pada hari itu. sedangkan di Indonesia, dikarenakan telah ditetapkan bahwa hari raya adalah hari selasa, maka bagi masyarakat Indonesia dan siapa saja yang berada di Indonesia waktu itu tetap melaksanakan puasa pada hari senin dan baru merayakan hari raya pada hari selasa. ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas diatas.

wabillahi at-taufiq

Senin, 20 Desember 2010

Ikhtiar Menggapai Bening Hati


IKHTIAR MENGGAPAI BENING HATI Keberuntungan memiliki hati yg bersih sepatut membuat diri kita berpikir keras tiap hari menjadikan kebeningan hati ini menjadi aset utama utk menggapai kesuksesan dunia dan akhirat kita. Subhanallaah betapa kemudahan dan keindahan hidup akan senantiasa meliputi diri orang yg berhati bening ini. Karena itu mulai detik ini bulatkanlah tekad utk bisa menggapai susun pula programnyata utk mencapainya. Diantara program yg bisa kita lakukan utk menggapai hidup indah dan prestatif dgn bening hati adl : 1. Ilmu Carilah terus ilmu tentang hati keutamaan kebeningan hati kerugian kebusukan hati bagaimana perilaku dan tabiat hati serta bagaimana utk mensucikannya. Diantara ikhtiar yg bisa kita lakukan adalah dgn caramendatangi majelis taklim membeli buku-buku yg mengkaji tentang kebeningan hati mendengarkan ceramah-ceramah berkaitan dgn ilmu hati baik dari kaset maupun langsung dari nara sumbernya. Dan juga dgncara berguru langsung kepada orang yg sudah memahami ilmu hati ini dgn benar dan ia mempraktekan dalam kehidupan sehari-harinya. Harap dimaklumi ilmu hati yang disampaikan oleh orang yg sudah menjalani akan memiliki kekuatan ruhiah besar dalam mempengaruhi orang yg menuntut ilmu kepadanya. Oleh karena carilah ulama yg dgn gigih mengamalkan ilmu hati ini. 2. Riyadhah atau Melatih Diri Seperti kata pepatah “alah bisa krn biasa”. Seseorang mampu melakukan sesuatu dgnoptimal salah satu krn terlatih atau terbiasa melakukannya. Begitu pula upaya dalam membersihkan hati ini ternyata akan mampu dilakukan dgnoptimal jikalau kita terus-menerus melakukan riyadhah . Adapun bentuk latihan diri yg dapat kita lakukan untuk menggapai bening hati ini adl Menilai kekurangan atau keburukan diri. Patut diketahui bahwa bagaimana mungkin kita akan mengubah diri kalau kita tak tahu apa-apa yg harus kita ubah bagaimana mungkin kita memperbaiki diri kalau kita tak tahu apa yg harus diperbaiki. Maka hal pertama yg harus kita lakukan adl dgn bersungguh-sungguh utk belajar jujur mengenal diri sendiri dgncara Memiliki waktu khusus utk tafakur. Setiap ba’da shalat kita harus mulai berpikir; saya ini sombong atau tidak? Apakah saya ini riya atau tidak? Apakah saya ini orang takabur atau tidak? Apakah saya ini pendengki atau bukan? Belajarlah sekuat tenaga utk mengetahui diri ini sebenarnya. Kalau perlu buat catatan khusus tentang kekurangan-kekurangan diri kita {tentu saja tak perlu kita beberkan pada orang lain}. Ketahuilah bahwa kejujuran pada diri ini merupakan modal yg teramat penting sebagai langkah awal kita utk memperbaiki diri kita ini Memiliki partner. Kawan sejati yg memiliki komitmen utk saling mengkoreksi semata-mata utk kebaikan bersama yg memiliki komitmen utk saling mewangikan mengharumkan memajukan dan diantara menjadi cermin bagi satu yang lainnya. Tidak ada yg ditutup-tutupi. Tentu saja dgn niat dan cara yang benar jangan sampai malah saling membeberkan aib yg akhir terjerumus pada fitnah. Partner ini bisa istri suami adik kakak atau kawan-kawan lain yang memiliki tekad yg sama utk mensucikan diri. Buatlah prosedur yg baik jadwal berkala sehingga selain mendapatkan masukan yg berharga tentang diri ini dari partner kita kita juga bisa meni’mati proses ini secara wajar.
Mamfaatkan orang yg tak menyukai kita. Mengapa? Tiada lain krn orang yg membenci kita ternyata memiliki kesungguhan yg lbh dibanding orang yg lain dalam menilai memperhatikan mengamati khusus dalam hal kekurangan diri. Hadapi mereka dgn kepala dingin tenang tanpa sikap yg berlebihan. Anggaplah mereka sebagai aset karunia Allah yg perlu kita optimalkan keberadannya. Karena jadikan apapun yg mereka katakan apapun yg mereka lakukan menjadi bahan perenungan bahan utk ditafakuri bahan utk dimaafkan dan bahan utk berlapang hati dgn membalas justru oleh aneka kebaikan. Sungguh tak pernah rugi orang lain berbuat jelek kepada diri kita. Kerugian adalah ketika kita berbuat kejelekkan kepada orang lan.
Tafakuri kejadian yg ada di sekitar kita.
Kejadian di negara tingkah polah para pengelola negara akhlak pipmpinan negara atau tokoh apapun dan siapa pun di negeri ini. Begitu banyak yg dapat kita pelajari dan tafakuri dari mereka baik dalam hal kebaikan ataupun kejelekkan/kesalahan . Selain itu dari orang-orang yg ada di sekitar kita seperti teman tetangga atau tamu yg mereka itu merupakan bahan utk ditafakuri. Mana yg menyentuh hati kita menaruh rasa hormat kagum kepada mereka. Mana yg akan melukai hati mendera perasaan mencabik qalbu krn itu juga bisa jadi bahan contoh bahan perhatian lalu tanyalah pada diri kita mirip yg mana? Tidak usah kita mencemooh orang lain tapi tafakuri perilaku orang lain tersebut dan cocokkan dengan keadaan kita. Ubahlah sesuatu yg dianggap melukai seperti yg kita rasakan kepada sesuatu yg menyenangkan. Sesuatu yg dianggap mengagumkan kepada perilaku kita spereti yg kita kagumi tersebut. Mudah-mudahan dgn riyadhah tahap awal ini kita mulai mengenal siapa sebenar diri kita? ** {Sumber : Koran Kecil MQ EDISI 06/TH.1/2001}
sumber : file chm bundel Tausyiah Manajemen Qolbu Aa Gym

Tolong, Muliakan Aku Dengan Maafmu

Ini sebuah kisah anonymous tentang dua orang sahabat karib yang sedang berjalan melintasi gurun pasir. Di tengah perjalanan, mereka bertengkar, dan salah seorang menampar temannya. Orang yang kena tampar, merasa sakit hati, tapi dengan tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir : HARI INI, SAHABAT TERBAIKKU MENAMPAR PIPIKU. 

Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis, dimana mereka memutuskan untuk mandi. Orang yang pipinya kena tampar dan terluka hatinya, mencoba berenang namun nyaris tenggelam, dan berhasil diselamatkan oleh sahabatnya. 

Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuah batu: HARI INI, SAHABAT TERBAIKKU MENYELAMATKAN NYAWAKU. 

Orang yang menolong dan menampar sahabatnya, bertanya, "Kenapa setelah saya melukai hatimu, kau menulisnya di atas pasir, dan sekarang kamu menulis di batu?" Temannya sambil tersenyum menjawab, "Ketika seorang sahabat melukai kita, kita harus menulisnya di atas pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut. Dan bila sesuatu yang luar biasa terjadi, kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar tidak bisa hilang tertiup angin." 

Cerita di atas, bagaimanapun tentu saja lebih mudah dibaca dibanding diterapkan. Begitu mudahnya kita memutuskan sebuah pertemanan 'hanya' karena sakit hati atas sebuah perbuatan atau perkataan yang menurut kita keterlaluan hingga menyakiti hati kita. Sebuah sakit hati lebih perkasa untuk merusak dibanding begitu banyak kebaikan untuk menjaga. Mungkin ini memang bagian dari sifat buruk diri kita. 

Karena itu, seseorang pernah memberitahu saya apa yang harus saya lakukan ketika saya sakit hati. Beliau mengatakan ketika sakit hati yang paling penting adalah melihat apakah memang orang yang menyakiti hati kita itu tidak kita sakiti terlebih dahulu. 

Bukankah sudah menjadi kewajaran sifat orang untuk membalas dendam? Maka sungguh sangat bisa jadi kita telah melukai hatinya terlebih dahulu dan dia menginginkan sakit yang sama seperti yang dia rasakan. 

Bisa jadi juga sakit hati kita karena kesalahan kita sendiri yang salah dalam menafsirkan perkataan atau perbuatan teman kita. Bisa jadi kita tersinggung oleh perkataan sahabat kita yang dimaksudkannya sebagai gurauan. 

Namun demikian, Saudara-saudaraku, salah seorang guru saya selalu mengajari muridnya untuk memaafkan kesalahan-kesalahan saudaranya yang lain. Tapi ini akan sungguh sangat berat. Karena itu beliau mengajari kami untuk 'menyerahkan' sakit itu kepada Allah -yang begitu jelas dan pasti mengetahui bagaimana sakit hati kita- dengan membaca doa, "Ya Allah, balaslah kebaikan siapapun yang telah diberikannya kepada kami dengan balasan yang jauh dari yang mereka bayangkan. Ya Allah, ampuni kesalahan-kesalahan saudara-saudara kami yang pernah menyakiti hati kami." 

Bukankah Rasulullah pernah berkata, "Tiga hal di antara akhlak ahli surga adalah memaafkan orang yang telah menganiayamu, memberi kepada orang yang mengharamkanmu, dan berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu". 

Karena itu, Saudara-saudaraku, mungkin aku pernah menyakiti hatimu dan kau tidak membalas, dan mungkin juga kau menyakiti hatiku karena aku pernah menyakitimu. Namun dengan ijin-Nya aku berusaha memaafkanmu. Tapi yang aku takutkan kalian tidak mau memaafkan. 

Sungguh, Saudara-saudaraku, dosa-dosaku kepada Tuhanku telah menghimpit kedua sisi tulang rusukku hingga menyesakkan dada. Saudara-saudaraku, jika kalian tidak sanggup mendoakan aku agar aku 'ada' di hadapan-Nya, maka ikhlaskan segala kesalahan-kesalahanku. Tolong jangan kau tambahkan kehinaan pada diriku dengan mengadukan kepada Tuhan bahwa aku telah menyakiti hatimu. Tolong, sekali pun jangan. Tolong, maafkan. (eramuslim)
 

Antisipasi Futur

Di dalam beraktifitas, kadang kala seorang da'i terlalu berlebihan atau memaksakan diri dalam berda'wah - amaliyah beribadah - tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi diri, baik fisik, kesehatan maupun psikis. Sedangkan dalam diri manusia memiliki kemampuan yang terbatas. Melampaui batas kewajaran dalam melakukan hal-hal yang mubah, sikap ekstrim dalam melaksanakan aturan agama, mengutamakan hidup 'uzlah (menyendiri) daripada berjamaah. Menyepelekan aktifitas harian, kurang mengingat kematian dan akhirat, mengerjakan sebagian dari syariat agama, mengabaikan kebutuhan jasmani dan membiarkan dirinya termasuki sesuatu yang haram atau bernilai syubhat, tidak terprogramnya aktifitas yang dilakukan sehingga tidak siap menghadapi kendala da'wah, melalaikan kaidah sunnatullah, dan berlarut-larut dalam melakukan maksiat sehingga meremehkan dosa-dosa yang kecil. Akhirnya terbiasa dengan dosa-dosa besar, serta berteman dengan orang yang berpenyakit futuur. Semua itu yang menyebabkan seseorang yang sedang ditanda kefutuuran.
Futuur adalah suatu penyakit hati yang efek minimalnya timbul rasa malas, lamban, dan sikap santai dalam melakukan amaliyah yang sebelumnya pernah dilakukan dengan penuh semangat dan menggebu-gebu, dan efek maksimalnya terputus sama sekali dari praktek suatu amaliyah tersebut. Penyakit rohani ini kerap menjangkiti para aktifis da'wah dalam menggeluti jalan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, penyakit rohani (futuur) ini tidak dibiarkan berlarut-larut dalam diri aktifis da'wah dan harus segera ditanggulangi sedini mungkin. Adapun untuk mengatasi futuur tersebut adalah:
1. Menjauhi perbuatan maksiat dan keburukan baik yang besar ataupun kecil.
Perbuatan maksiat itu ibarat api yang membakar hati serta akan mengundang kemurkaan Allah swt. Dan barang siapa yang dimurkai oleh Tuhannya, maka ia akan merugi dengan kerugian yang nyata, sebagaimana firman-Nya, "…Dan barang siapa ditimpa kemurkaan-Ku maka binasalah dia." (Thaha: 81)
2. Tekun dalam melaksanakan kewajiban harian.
Sesungguhnya melakukan kewajiban harian - membaca Al qur'an, al ma'tsurat, serta melakukan aneka shalat sunnah lainnya, seperti dhuha, qiyamullail, dan sebagainya - akan menimbulkan keimanan yang baik, memberikan keuletan pada jiwa, menggerakkan dan mempertinggi semangat, serta memperkuat 'azam (tekad) dalam berkhidmat kepada Allah swt.
3. Menghindarkan diri dari sikap berlebihan dalam menjalankan agama.
Membebaskan diri dari sikap berlebihan dan melewati batas bukan berarti meninggalkan suatu amal atau justru menyepelekannya, tetapi adanya sesuatu keseimbangan (iqthishaad) dan sikap pertengahan (tawassuth) disertai dengan usaha untuk melaksanakan secara kontinyu dan istiqomah terhadap semua sunah Rasul
"lakukanlah amal itu sebatas kesanggupanmu, sesungguhnya Allah tidak akan bosan sehingga kalian merasa bosan, dan sesungguhnya amal yang paling disukai Allah ialah amal yang dikerjakan terus menerus sekalipun sedikit (Mutafaq 'alaih).
4. Terjun dalam lingkungan jamaah dan tidak meninggalkannya dalam sikap apapun.
"Berjamaah itu menimbulkan rahmat (kasih sayang) sedangkan berpecah belah akan menyebabkan turunnya azab..." (HR. Ahmad).
5. Menyadari bentuk kendala yang akan dihadapi.
Dengan menyadari adanya kendala dalam menempuh jalan da'wah, kita akan memiliki bekal serta persiapan yang baik saat kendala itu benar-benar menghadang. Disamping itu da'i akan memiliki kesempatan untuk mengantisipasinya, khususnya yang berkaitan dengan penyakit futuur tersebut.
6. Ketelitian dan merencanakan strategi yang baik.
Dalam melakukan da'wah da'i harus senantiasa memperhatikan skala prioritas dan mengatur strategi, yakni dengan mendahulukan hal-hal yang penting dan menangguhkan hal-hal yang kurang begitu penting. Insya Allah laju perjalanan da'wah akan berjalan dengan lancar dan berhasil mencapai sasaran. Sebaliknya jika mengabaikannya akan mudah terjebak untuk memasuki kancah pertarungan sampingan atau berputar pada masalah juz'iyyah (sektoral).
7. Senantiasa menjalin hubungan dengan para shalihin dan mujahidin.
Hal ini perlu kita lakukan, mengingat para shalihin dan para mujahidin tersebut merupakan para hamba Allah yang memiliki jiwa yang bersih, cahaya hati, dan kilauan rohani, sepi dari sikap mencela dan memaksa. Oleh karena itu, jika kita senantiasa menjalin hubungan dengan mereka, akan dapat menghidupkan kembali tekad dan memicu semangat kita yang terkadang mudah turun-naik. Rasulullah memberi perhatian dalam hal ini lewat sabdanya, "Maukah kalian kukabari tentang orang yang paling baik?" Sahabat menjawab, "Tentu, ya Rasulullah." Beliau lalu berkata, "Yaitu seorang yang jika engkau melihatnya ia akan mengingatkan engkau akan Allah SWT." (HR. Ibnu Majah).
8. Memberikan waktu kepada jasmani untuk istirahat, makan, dan minum secukupnya.
Hal ini akan dapat memperbaharui semangat dalam tubuh dan mengembalikan kekuatan dan vitalitasnya. Nabi saw mengisyaratkan hal ini kepada para aktivis, pada saat beliau memasuki mesjid kemudian melihat sebuah tali yang dibentangkan di antara dua buah tiang. Beliau lalu bertanya, "Tali apa ini?" Para sahabat menjawab, "Itu tali milik Zainab. Jika ia merasa letih beribadah, ia akan segera bergantung pada tali ini (untuk beribadah)". Mendengar penjelasan tersebut beliau lalu bersabda, "Lepaskan tali itu, dan lakukanlah oleh kalian shalat selama kalian masih kuat, tetapi jika merasa lelah hendaklah kalian tidur." (Muttafaq 'alaih).
9. Menghibur diri dengan hal-hal yang dibolehkan.
Misalkan bermain dan bergurau dengan anggota keluarga (anak dan istri), melakukan rihlah (wisata) bersama mereka, seperti memancing, berolah raga, tadabbur (merenungi) dan tafakkur (memikirkan) keindahan alam, hiking (mendaki gunung), latihan pengembaraan untuk melatih, membekali, dan membiasakan diri ketika berhadapan dengan suatu kesulitan, berkebun, dan lain-lain.
10. Melakukan kajian secara kontinyu terhadap buku-buku yang membahas perjalanan hidup atau sejarah para sahabat atau orang-orang shalihin lainnya.
Semua kisah mereka itu sarat dengan hikmah dan perjalanan. Dapat kita jadikan sumber referensi serta bahan bandingan dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini. "Sungguh, di dalam kisah-kisah mereka (para nabi) terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berfikir…" (QS Yusuf: 111).
11. Mengingat kematian dan kejadian-kejadian yang bakal terjadi selanjutnya.
Dengan senantiasa mengingat kematian dan kejadian-kejadian yang bakal dihadapi selanjutnya akan dapat membangunkan jiwa dari kelelapan, membangkitkannya dari kemalasan, mengingatkannya dari kelelapan, mengingatkannya dari kelalaian, sehingga kita akan kembali bersemangat dan mulai meneruskan amaliyah. Cara yang paling baik untuk mengingat kematian adalah seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw, yakni dengan mempersering ziarah kubur, mengantarkan jenazah, atau mengunjungi orang-orang yang tengah dilanda sakit keras. 
12. Mengingat kenikmatan surga dan azab neraka.
Hal ini akan mampu mengusir rasa kantuk dari kelopak mata, menggerakkan dan membangkitkan semangat yang mulai kendor dan melemah. Dalam sebuah riwayat dari Haram bin Hayyan, ia pernah keluar pada suatu malam, kemudian ia memanggil-manggil dengan suara keras, "Aku terpikat oleh surga. Jadi bagaimanakah seseorang yang menginginkannya dapat tidur? Dan aku sangat takut pada siksa neraka. Jadi, bagaimanakah orang yang ingin menjauhinya dapat tidur?" Kemudian ia membaca sebuah ayat, "Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?" (At-Takhwiif bi an-Naar, Ibnu Rajab).
13. Menghadiri majelis-majelis ilmu.
Karena ilmu adalah penghidup hati, maka ketika seseorang mendengarkan kata-kata dari seorang alim yang shadiq (benar) dan mukhlis (ikhlas), maka hal itu akan dapat menyuburkan semangat dirinya. Mahabenar Allah yang telah berfirman, "…Sesungguhnya yang takut terhadap Allah adalah hamba-hamba-Nya yang berilmu…" (QS. Faathir: 28). "Dan katakanlah, Ya Tuhan, tambahkanlah aku ilmu pengetahuan." (QS. Thaahaa: 114).
14. Menjalankan ajaran agama secara total.
Hal tersebut lebih menjamin kontinuitas suatu amal hingga batas akhir kehidupan kita kelak.
15. Muhasabatu an nafs (mengoreksi jiwa).
Senantiasa memantau keadaan hati dapat mengantisipasi suatu kesalahan pada waktu dini, sehingga proses pengobatannya akan lebih mudah. "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan." (QS. Al Hasyr: 18). 
Maraji': Penyebab Gagalnya Dakwah (Dr. Sayyid Muhammad Nuh).(www.ikhwah-net.8m.com)

Mengikis Futur

Futur. Sebuah istilah yang menggambarkan kondisi ruhiyyah seseorang yang sedang menurun. Atau dengan istilah yang lebih sederhana, futur ialah "penurunan semangat beribadah."
Ketika seseorang yang biasa bersemangat menamatkan Al-Qur'an satu juz dalam satu hari, kemudian menurun atau tiba-tiba kehilangan semangat membaca Al-Qur'an, maka itulah futur. 
Atau juga ketika seseorang yang jiwa sosialnya tinggi, perhatian dan peka terhadap kondisi saudara-saudaranya se-aqidah, suatu waktu ia merasa berat dan tidak mampu memperhatikan orang lain, kepekaannya menurun, egonya meningkat, dan bahkan berdiam diri ketika saudaranya sedang membutuhkan pertolongan. Atau fenomena lain dari futur adalah ketika orang yang senantiasa melakukan amar ma’ruf nahyi munkar, tapi –suatu waktu – kemudian semangat amalnya menurun dan bahkan mungkin –ketika kondisi seperti itu terus dibiarkan – akhirnya ia sendiri melakukan penyimpangan-penyimpangan amal.
Memang, futur itu memiliki tingkatan-tingkatan. Ada futur yang masih tergolong rendah dan ada futur yang sifatnya kronis. Futur yang terbilang rendah, biasanya tergambar dalam penurunan kualitas dan kuantitas ibadahnya saja. Artinya ia masih berada di rel yang benar, ia masih mengikuti gerbong Al-Qur'an dan as-Sunah. Meskipun, kadang ia tertatih-tatih di rel itu, dan bahkan teringgal di belakang.
Futur yang seperti ini, pada permulaannya memang tidak terlalu berbahaya, karena hal itu merupakan tabiat manusia, bahkan itulah -mungkin- yang dimaksud dengan al-imanu yazidu wa yanqusu, Iman itu kadang bertambah dan kadang berkurang. Fluktuatif keimanan merupakan hal yang wajar bagi setiap orang, karena tidak ada di dunia ini manusia yang selamanya benar, seperti halnya tidak ada yang selamanya salah.
Akan tetapi, ketika kondisi seperti itu terus dibiarkan dalam rentang waktu yang cukup lama, maka tentu saja lambat laun ia akan merosot dan terus merosot. Kualitas keimanannya semakin lama akan semakin rendah dan lemah. Dan bahkan mungkin saja, ia akhirnya terperosok pada futur "skala tinggi." Bukan hanya penurunan kuantitas dan kualitas ibadahnya saja yang nampak pada dirinya, akan tetapi, lebih besar dari itu, ia tidak lagi berada pada rel ketaatan. Ke-futur-annya digambarkan dengan beralihnya taat menjadi maksiat, pahala dengan dosa. Na'udzubillah min dzalik.
Memang, manusia tidak ada yang bisa lepas dari kesalahan. Setiap orang pasti ada yang pernah berbuat kesalahan dan dosa. Karena ia bukanlah malaikat yang senantiasa patuh dan taat kepada Allah. Hal ini, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya; "Setiap Bani Adam itu pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat."
Akan tetapi, kalau kita cermati lagi hadits di atas, sebenarnya yang menjadi titik permasalahannya –dan itu yang sering tidak kita perhatikan– adalah ada atau tidaknya proses taubat yang dilakukan oleh orang yang telah berbuat kesalahan tersebut. Oleh karena itu, kesalahan –dalam batasan tertentu – bagi manusia merupakan sebuah kewajaran, akan tetapi terus menerus dan terlena dalam kesalahan tersebut merupakan ketidakwajaran.
Hal ini pun secara jelas telah disebutkan oleh Allah swt dalam Al-Qur'an, Ia berfirman; "Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS 4:17)
Taubat inilah yang menjadi standarnya. Oleh karena itu ketika dalam kesalahannya ia tidak segera bertaubat (kembali pada Allah), maka kesalahannya itu bukanlah sebuah kewajaran lagi. Allah berfirman, "Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." (QS 4:18)

Kembali pada permasalahan futur, maka sebenarnya yang diperlukan oleh seorang muslim adalah komitmen dan keistiqamahan dalam setiap amal. Dan tentu saja semuanya harus dibarengi dengan bertahap dan tidak berlebihan (ghuluw). Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berlaku moderatlah dan beristiqamah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga kamu Ya … Rasulullah, Beliau bersabda, “Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerah-Nya.” (H.R. Muslim).
Oleh karena itu, ketika ia mengalami ke-futur-an pun, maka futur-nya itu tidak keluar dari "rel yang benar", dan ia tidak melakukan sebuah penyimpangan amal. Dalam sebuah hadits pun disebutkan bahwa futur merupakan sebuah fenomena yang menggambarkan batasan juhud (kesungguhan beramal) seseorang, ada yang tetap berada dalam bi'ah imaniyyah, ada juga yang keluar dari rel dan berbuat penyimpangan.
Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami ke-futur-an (keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futur-nya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futur-nya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka.” (HR Imam Ahmad)
Selain dari itu, perjuangan melawan futur harus dimulai dari hati. Karena hati merupakan pusat dari segalanya, sebagaimana dalam hadits, “Apabila ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya”. Kebeningan hati dan ketulusan iman serta keikhlasan berdoa merupakan senjata ampuh untuk mengikis futur dan mengembalikannya kepada ghirah dan hamasah beramal yang tinggi.
Maka, di sinilah pentingnya kita senantiasa mengontrol kondisi ruhiyyah-nya, menimbangnya dengan timbangan-timbangan amal keseharian, sehingga ia bisa segera menyadari apa yang sedang terjadi pada ruhiyyah-nya. eramuslim

Luntur Karena Futur

Luntur karena Futur

Seseorang yang berkumpul bersama penjual minyak tanah akan ikut tercium minyak tanah. Seseorang yang berkumpul bersama minyak wangi akan ikut tercium harumnya minyak wangi pula. Ketika kita berada pada lingkungan yang “save” maka kita bisa lebih terkondisikan supaya “save” pula. Ketika kita berada di lingkungan orang-orang yang shalih maka kita bisa ikutan shalih juga Insya Allah. Ketika kita berada di lingkungan orang-orang yang sering berbuat maksiat maka kita akan mudah pula terpengaruh berbuat maksiat pula.Tetapi seorang aktifis dakwah seharusnya bisa bersifat imun, bukan steril. Bersifat imun artinya dia punya pertahanan diri yang tinggi meskipun dia berada dimana saja. Bukan bersifat steril yang harus ditempatkan di tempat yang “aman”. Karena di semua tempat dimana disitu ada manusia, maka disitu adalah lahan dakwah yang berhak untuk kita tegakkan agama Allah disitu.
Kita mungkin sering banget mendapatkan taujih tentang futur. Mulai dauroh, kajian, halaqah, sampai tausiyah dari situs-situs atau blog-blog Islam banyak sekali kita mendapatkan taujih tentang itu. Karena memang iman itu bisa naik bisa turun dan setiap orang bisa mengalaminya. Meskipun itu hal yang manusiawi bukan berarti trus dibiarkan dan diabaikan justru yang namanya penyakit harus diobati dan dicegah biar tidak terjadi.
Banyak sekali fenomena futur yang kita temui di sekitar kita, atau bahkan ada di antara kita yang sedang mengalaminya.
Ada ikhwah yang dulunya aktif banget di dakwah kampus, bahkan sksnya melebihi sks kuliahnya  , prinsipnya dakwah oriented. Orang menyebutya aktifis kura-kura (kuliah rapat, kuliah rapat). Tetapi setelah lulus dia kini tak lagi berkecimpung dalam dakwah, alasannya sibuk dengan pekerjaannya yang tidak bisa disambi. Padahal dulu dia kadang harus absen kuliah untuk menghadiri syuro’, halaqah, aksi atau aktivitas lain yang urgent. Tetapi kini untuk menyempatkan hadir dalam aktifitas tarbiyah saja dia ga sempat karena alasan capek atau seribu alasan yang lain. Kalau dulu dia bisa gadhul bashar, menjaga adab pergaulan dengan lawan jenis. Kini setelah bekerja sudah terbiasa bercanda atau bahkan makan siang berdua dengan rekan kerjanya (lawan jenis). Kalau dulu dia benar-benar ga mau untuk berjabat tangan dengan lawan jenis, kini di lingkungan kerja dia enggan menerapkan itu, pertama dengan alasan sungkan, kedua dengan alasan untuk kepentingan formal, ketiga dengan alasan gpp asal tidak ada perasaan apa-apa, selanjutnya dengan berbagai alasan dia akhirnya terbiasa untuk berjabat tangan atau menepuk pundak rekan kerjanya.
Ada pula akhwat yang dulu semasa di aktif di dakwah kampus, berjilbab lebar dan menutup auratnya dengan baik. Tetapi kini setelah lulus, kerja atau menikah, jilbabnya semakin lama semakin kecil jilbabnya yang lebar dan roknya dimusiumkan atau dikasihkan orang dan dia cukup pakai celana panjang, kemeja yang ”ngepres” dan jilbab gaul, dengan alasan menyesuaikan dengan lingkungan kerja. Kalau dulu kadang dimarahi ibunya gara-gara kelamaan pakai jilbab dan kaos kaki ketika disuruh ke warung , kini udah biasa kemana-mana ga pakai kaos kaki.
Bagi akhwat, mungkin awalnya kita akan merasa aneh ketika kita dengan penampilan berjilbab rapi (sesuai syariat) dan berada di lingkungan kerja dimana tidak ada yang seperti kita atau bahkan jarang ada wanita yang berjilbab. Mungkin awalnya kita akan dianggap ”makhluk aneh” hingga dipelototi dari ujung jilbab hingga ujung sepat :) Tapi Enjoy aja lagi…!! Percaya diri aja, asalkan kita bisa menyesuaikan. Asalkan kita bisa tetap berpakaian formal (tidak kedodoran), memakai rok, kemeja panjang dan jilbab yang longgar, insyaAllah gak bermasalah.
Tidak masalah pula ketika kita tidak berjabat tangan dengan lawan jenis baik itu rekan kerja, pimpinan, tamu, dll dengan tetap menghormati mereka, misal dengan memposisikan tangan kita dulu (kayak orang sunda) sebelum orang lain mengulurkan tangannya pada kita. Semuanya insya Allah bisa diatur yang penting kita bisa komitmen dengan nilai-nilai Islami.
Mungkin dengan penampilan kita, sikap kita awalnya akan dianggap aneh bagi orang lain di sekitar kita. Tapi asalkan kita tidak terlalu eksklusif dan sedikit demi sedikit menebarkan nilai-nilai Islam di lingkungan kita, Insya Allah orang lain akan mengerti bahkan bisa jadi mengikuti.
Kalau dulu semasa kuliah getol mengkritik dan mengecam pejabat yang korupsi, jangan sampai ketika nanti dapat jabatan tinggi jadi ga inget lagi apakah yang dimakan keluarganya halal atau haram. Kalau dulu anti banget ama uang sogokan jangan sampai ketika di lingkungan kerja jadi terbiasa dengan uang-uang yang tidak jelas asalnya.
Kalau kita melihat sosok aktifis dakwah kampus. Mereka punya prinsip-prinsip ideal yang menonjol. Aktifitas mereka di kampus tidak lepas dari dakwah. Mungkin banyak orang yang menganggap mereka adalah sosok idealis. ”Ah itu kan karena mereka masih muda, masih jadi mahasiswa, belum tahu realita kehidupan di luar” Memang mereka merasa nyaman berada di lingkungannya dan lebih mudah untuk istiqomah karena berada di lingkungan yang mendukung. Tetapi sebagai seorang aktifis dakwah seharusnya bisa tetap istiqomah kapanpun dan dimanapun dia berada. Prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilai dakwah tidak seharusnya menjadi luntur ketika dia tidak berada di lingkungannya. Tidak luntur ketika dia lulus, ketika dia berada di lingkungan kerja atau terjun ke masyarakat.
Kita adalah da’i sebelum sesuatu. Karena itu seorang aktifis dakwah teruslah berakhlaq sebagai da’i, sebagai teladan, dia menjadi rahmat bagi orang-orang di sekitarnya. Ia harusnya bisa mewarnai bukannya malah luntur dan terwarnai.
Memang kita bukanlah bagian dari jamaah malaikat yang tidak luput dari kesalahan. Kita adalah manusia yang punya kecenderungan untuk kebaikan dan keburukan. Setiap dari kita bisa mengalami hal-hal di atas yang penyebab utamanya adalah futur, lemah iman. Perlu adanya orang-orang dan majelis yang mengingatkan kita, perlu ada yang memotiasi kita dan perlu adanya saudara-saudara seiman agar kita senantiasa merasakan nikmatnya iman, Islam dan ukhuwah.
Karena itulah begitu pentingnya tarbiyah untuk menjaga kestabilan keimanan kita dan agar kita tetap berada dalam kereta dakwah. Bukan hanya tarbiyah jama’i yang berupa majelis-majelis iman kita tetapi juga tak kalah pentingnya adalah tarbiyah dzatiyah kita dengan terus menjaga dan meningkatkan amalan yaumiahnya. Ungkapan syech Musthafa Masyhur yang sering kita dengar, “Tarbiyah bukan segala-galanya, akan tetapi segala sesuatunya berawal dari tarbiyah”. Mungkin maksud beliau adalah jika orang yang tarbiyah saja masih bisa tergelincir dari jalan Allah, apalagi yang tidak tarbiyah? Fungsi tarbiyah (jama’i) memang bukan segala-galanya dalam da’wah. Tarbiyah sebenarnya lebih berfungsi sebagai stimulus untuk meningkatkan dan memelihara iman kita. Sebagai stimulus (pencetus awal), mestinya seorang ikhwah melanjutkan tarbiyah (jama’i) dengan tarbiyah dzatiyah (mandiri).
Karena itu sebagai apapun diri kita saat ini, dimanapun kita saat ini, menjadi apapun diri kita saat ini, ingatlah bahwa kita adalah da’i sebelum sesuatu. Jangan menjadi luntur karena futur tapi segera bangkitlah diri kita, tidak ada kata terlambat untuk kebaikan.
wallahu a’lambishowab

Saya Ini Sedang Futur

Kiriman dari Mia
 
SAYA INI SEDANG FUTUR

saya ini sedang futur
baca qur'an enggan, nonton tv doyan
baca qur'an nggak berkesan, nonton sinetron dan cek & ricek malah 
ketagihan
nonton bolapun ngga pernah keinggalan
        saya ini sedang futur
        jarang baca buku dan majalah islam
        lagi demen baca komik sinchan dan detektif conan
saya ini sedang kalah
perhatikan sikap saya
yang mudah menyerah dan putu asa
yang inisiatifnya lemah cuma bisa nunggu perintah
yang mudah marah belum bisa ramah
yang merasa tidak dibutuhkan karena kurang mendaat perhatian
        saya ini sedang ftur
        hanya bisa berkata tanpa bisa membuktikan
        hanya bisa berjanji tanpa usaha menepati
saya ini sedang futur
tak lagi pandai menjaga pandangan
sering curi-curi pandang
MUDAH TERSERANG VIRUS CINTA
apalagi sama PARTNER DAKWAH SAYA
akhirnya meupakan hakikat cinta yang sebenarnya
        saya ini sedang futur
        walau takut azab, tak pernah sekali terisak
        malah senangnya terbahak
saya ini sedang futur
malas berdoa
maunya pasrah tanpa usaha
        saya ini sedang fuur
        lihat perus saya makin membuncit
        karena junkfood serta pangsit
saya ini sedang futur
tak lagi pandai bersyukur
sudah mulai tidak jujur
senang disanjung dikritik murung
        saya ini sedang futur
        malas ngurusin keluarga
        rajin menggunjing keluarga
        sedikit sekali muhasabah
        senang sekali menggibah

        YA ..... SAYA INI SEDANG FUTUR

YA ALLAH , DZAT YANG MAHA MEMBOLAK-BALIKAN HATI,
DAN PENGLIHATAN , TETAPKANLAH HATIKU DIATAS AGAMAMU
YA ALLAH, SESUNGGUHNYA AKU BERLINDUNG KEPADA-MU
DARI KELEMAHAN DAN KEMALASAN DARI SIKAP PENGECUT TUA RENTA DAN KIKIR.
YA ALLAH, AKU BERLINDUNG KEPADAMU DARI SIKSA KUBUR DAN DARI FITNAH 
WAKTU HIDUP
ATAUPUN KETIKA MATI


YA ALLAH JADIKANLAH AMALANKU ADALAH KARENA ENGAKU,
JANGAN JADIKAN IA KARENA SESEORANG.........


Agar Futur tidak menghantui

dakwatuna.com - “Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)
Saudaraku…
Pengikut yang bertaqwa adalah mereka yang tidak menjadi lemah karena bencana, ujian, ketidakberuntungan yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh Allah dan Allah menyukai orang-orang yang bersabar.
Ada fenomena kelesuan atau futur dalam dimensi aqidah dan umumnya terjadi karena pergeseran orientasi hidup, lebih berorientasi pada materi duniawi an sich. Dan ada juga dalam dimensi ibadah dengan lemahnya disiplin -indhibath- terhadap amaliyah ubudiyah yaumiyah (harian). Adapun dalam dimensi fikriyah terlihat dengan lemahnya semangat meningkatkan ilmu. Di sisi lain pergeseran adab islami menyelimuti akhlaq mereka, belum lagi rasa jenuh dalam mengikuti aktivitas tarbawiyah atau pembinaan keislaman dan hubungan yang terlalu longgar antar lawan jenis.
Dalam hidup akan banyak ditemui bermacam jalan. Kadang datar, kadang menurun, kadang pula meninggi. Begitu pula dalam perjalanan dakwah. Ada saatnya para muharrik (orang yang bergerak) menemui jalan yang lurus dan mudah. Namun tidak jarang menjumpai onak dan duri. Hal demikian juga terjadi pada muharrik. Suatu saat ia memiliki kondisi iman yang tinggi. Di saat lain, iapun dapat mengalami degradasi iman. Tabiat manusia memang menggariskan demikian.
Dalam kondisi iman yang turun ini, para muharrik kadang terkena satu penyakit yang membahayakan kelangsungan gerang langkah dakwah. Yaitu penyakit futur atau kelesuan.
Saudaraku…
Futur berarti putusnya kegiatan setelah kontinyu bergerak atau diam setelah bergerak, atau malas, lamban dan santai setelah sungguh-sungguh.
Terjadinya futur bagi muharrik, sebenarnya merupakan hal yang wajar. Asal saja tidak mengakibatkan terlepasnya muharrik dari roda dakwah. Hanya malaikat yang mampu kontinyu mengabdi kepada Allah dengan kualitas terbaik.
Firman Allah, “dan kepunyaan-Nyalah segala apa yang di langit dan di bumi dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak pula merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada hentinya.” (Al-Anbiya: 19-20)
Karena itu Rasulallah sering berdoa:
Artinya: “Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku akhirnya. Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik amalku keridhaan-Mu. Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik hariku saat bertemu dengan-Mu.”
Penyebab Futur
Walaupun futur merupakan hal yang mungkin terjadi bagi muharrik, ada beberapa penyebab yang dapat menyegerakan timbulnya:
Pertama, berlebihan dalam din (Bersikap keras dan berlebihan dalam beragama)
Berlebihan pada suatu jenis amal akan berdampak kepada terabaikannya kewajiban-kewajiban lainnya. Dan sikap yang dituntut pada kita dalam beramal adalah washathiyyah atau sedang dan tengah-tengah agar tidak terperangkap dalam ifrath dan tafrith (mengabaikan kewajiban yang lain).
Dalam hadits yang lain Rasul bersabda:
“Sesungguhnya Din itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulitnya kecuali akan dikalahkan atau menjadi berat mengamalkannya.” (H.R. Muslim)
Karena itu, amal yang paling di sukai Allah swt. adalah yang sedikit dan kontinyu.
Kedua, berlebih-lebihan dalam hal yang mubah. (Berlebihan dan melampaui batas dalam mengkonsumsi hal-hal yang diperbolehkan)
Mubah adalah sesuatu yang dibolehkan. Namun para sahabat sangat menjaganya. Mereka lebih memilih untuk menjauhkan diri dari hal yang mubah karena takut terjatuh pada yang haram. Berlebihan dalam makanan menyebabkan seseorang menjadi gemuk. Kegemukan akan memberatkan badan. Sehingga orang menjadi malas. Malas membuat seseorang menjadi santai. Dan santai mengakibatkan kemunduran. Karena itu secara keseluruhan hal ini bisa menghalangi dalam amal dakwah.
Ketiga, memisahkan diri dari kebersamaan atau jamaah (Mengedepankan hidup menyendiri dan berlepas dari organisasi atau berjamaah)
Jauhnya seseorang dari berjamaah membuatnya mudah didekati syaitan. Rasul bersabda: “Setan itu akan menerkam manusia yang menyendiri, seperti serigala menerkam domba yang terpisah dari kawanannya.” (H.R. Ahmad)
Jika setan telah memasuki hatinya, maka tak sungkan hatinya akan melahirkan zhan (prasangka) yang tidak pada tempatnya kepada organisasi atau jamaah. Jika berlanjut, hal ini menyebabkan hilangnya sikap tsiqah (kepercayaan) kepada organisasi atau jamaah.
Dengan berjamaah, seseorang akan selalu mendapatkan adanya kegiatan yang selalu baru. Ini terjadi karena jamaah merupakan kumpulan pribadi, yang masing-masing memiliki gagasan dan ide baru. Sedang tanpa jamaah seseorang dapat terperosok kepada kebosanan yang terjadi akibat kerutinan. Karena itu imam Ali berkata: “Sekeruh-keruh hidup berjamaah, lebih baik dari bergemingnya hidup sendiri.”
Keempat, sedikit mengingat akhirat (Lemah dalam mengingat kematian dan kehidupan akhirat)
Saudaraku…
Banyak mengingat kehidupan akhirat membuat seseorang giat beramal. Selalu diingat akan adanya hisab atas setiap amalnya. Kebalikannya, sedikit mengingat kehidupan akhirat menyulitkan seseorang untuk giat beramal. Ini disebabkan tidak adanya pemacu amal berupa keinginan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah pada hari yaumul hisab nanti. Karena itu Rasulullah bersabda:“Jika sekiranya engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan banyak menangis dan sedikit tertawa.”
Kelima, melalaikan amalan siang dan malam (Tidak memiliki komitmen yang baik dalam mengamalkan aktivitas ’ubudiyah harian)
Pelaksanaan ibadah secara tekun, membuat seseorang selalu ada dalam perlindungan Allah. Selalu terjaga komunikasi sambung rasa antara ia dengan Allah swt. Ini membuatnya mempersiapkan kondisi ruhiyah atau spiritual yang baik sebagai dasar untuk bergerak dakwah. Namun sebaliknya, kelalaian untuk melaksanakan amalan, berupa rangkaian ibadah baik yang wajib maupun sunnah, dapat membuat seseorang terjerumus untuk sedikit demi sedikit merenggangkan hubungannya dengan Allah. jika ini terjadi, maka sulit baginya menjaga kondisi ruhiyah dalam keadaan taat kepada Allah. kadang hal ini juga berkaitan dengan kemampuan untuk berbicara kepada hati. Dakwah yang benar, selalu memulainya dengan memanggil hati manusia, sementara sedikitnya pelaksanaan ibadah membuatnya sedikit memiliki cahaya.
Allah berfirman: “Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah ia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 40)
Keenam, masuknya barang haram ke dalam perut (Mengkonsumsi sesuatu yang syubhat, apalagi haram)
Ketujuh, tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan. (Tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dakwah)
Setiap perjuangan selalu menghadapi tantangan. Haq dan bathil selalu berusaha untuk memperbesar pengaruhnya masing-masing. Akan selalu ada orang-orang Pendukung Islam. Di lain pihak akan selalu tumbuh orang-orang pendukung hawa nafsu. Dan dalam waktu yang Allah kehendaki akan bertemu dalam suatu “fitnah”. Dalam bahasa Arab, kata “fitnah” berasal dari kata yang digunakan untuk menggambarkan proses penyaringan emas dari batu-batu lainnya. Karena itu “fitnah” merupakan sunnatullah yang akan mengenai para pelaku dakwah. Dengan “fitnah” Allah juga menyaring siapa hamba yang masuk golongan shadiqin dan siapa yang kadzib (dusta). Dan jika fitnah itu datang, sementara ia tidak siap menerimanya, besar kemungkinan akan terjadi pengubahan orientasi dalam perjuangannya. Dan itu membuat futur. Allah Berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka hati-hatilah kamu terhadap mereka.” (Al-Ahqaf: 14)
Kedelapan, bersahabat dengan orang-orang yang lemah (Berteman dengan orang-orang yang buruk dan bersemangat rendah)
Kondisi lingkungan (biah) dapat menentukan kualitas seseorang. Teman yang baik akan melahirkan lingkungan yang baik. Akan tumbuh suasana ta’awun atau tolong-menolong dan saling menasihatkan. Sementara teman yang buruk dapat melunturkan hamasah (kemauan) yang semula telah menjadi tekad. Karena itu Rasulullah bersabda:
“Seseorang atas diri sahabatnya, hendaklah melihat salah seorang di antara kalian siapa ia berteman.” (H.R. Abu Daud)
Kesembilan, spontanitas dalam beramal (Tidak ada perencanaan yang baik dalam beramal, baik dalam skala individu atau fardi maupun komunitas atau jama’i)
Amal yang tidak terencana, yang tidak memiliki tujuan sasaran dan sarana yang jelas, tidak dapat melahirkan hasil yang diharapkan. Hanya akan timbul kepenatan dalam berdakwah, sementara hasil yang ditunggu tak kunjung datang. Karena itu setiap amal harus memiliki minhajiatul amal (sistematika kerja). Hal ini akan membuat ringan dan mudahnya suatu amal.
Kesepuluh, jatuh dalam kemaksiatan (Meremehkan dosa dan maksiat)
Perbuatan maksiat membuat hati tertutup dengan kefasikan. Jika kondisi ini terjadi, sulit diharapkan seorang juru dakwah mampu beramal untuk jamaahnya. Bahkan untuk menjaga diri sendiri pun sulit.
Cara Mengobati Kelesuan
Saudaraku…
Untuk mengobati penyakit futur ini, beberapa ulama memberikan beberapa resep.
Pertama, jauhi kemaksiatan
Kemaksiatan akan mendatangkan kemungkaran Allah. Dan pada akhirnya membawa kepada kesesatan. Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu melampaui batas yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barang siapa ditimpa musibah oleh kemurkaan-Ku, maka binasalah ia.” (Thaha: 81)
Jauh dari kemaksiatan akan mendatangkan hidup yang akan lebih berkah. Dengan keberkahan ini orang dapat terhindar dari penyakit futur. Allah berfirman:
“Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan dari bumi.” (Al-A’raf: 96)
Kedua, tekun mengamalkan amalan siang dan malam
Amalan siang dan malam dapat melindungi dan menjaga pelaku dakwah untuk selalu berhubungan dengan Allah swt. Hal ini dapat menjauhkannya dari perbuatan yang tidak mendapat restu dari Allah.
Allah berfirman:
“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu, ialah orang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang (mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (Al-Furqan: 63-64)
Ketiga, mengintai waktu-waktu yang baik
Dalam banyak hadits Rasulullah saw. banyak menginformasikan adanya waktu-waktu tertentu dimana Allah swt. lebih memperhatikan doa hamba-Nya. Sepertiga malam terakhir, hari Jum’at, antara dua khutbah, ba’da Ashar hari Jum’at, bulan Ramadhan, bulan Zulqaedah, Zulhijjah, Muharram, rajab dll. Waktu-waktu itu memiliki keistimewaan yang dapat mengangkat derajat seseorang di hadapan Allah.
Keempat, menjauhi hal-hal yang berlebihan.
Berlebihan dalam kebaikan bukan merupakan tindakan bijaksana. Apalagi berlebihan dalam keburukan. Allah memerintah manusia sesuai dengan kemampuannya.
Firman Allah:
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah sesuai dengan kesanggupanmu!” (At-Taghabun: 6)
Islam adalah Din tawazun (keseimbangan). Disuruhnya pemeluknya memperhatikan akhirat, namun jangan melupakan kehidupan dunia. Seluruh anggota tubuh dan jiwa mempunyai haknya masing-masing yang harus ditunaikan. Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Demikianlah kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan (adil) dan pilihan. (Al-Baqarah: 143)
Kelima, melazimi Jamaah
“Berjamaah itu rahmat, Firqah (perpecahan) itu azab.” demikian sabda Rasulullah. Dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Barangsiapa yang menghendaki tengahnya surga, hendaklah ia melazimi jamaah.”
Dengan jamaah seorang muharrik akan selalu berada dalam majelis dzikir dan pikir. Hal ini membuatnya selalu terikat dengan komitmennya semula. Juga jamaah dapat memberikan program dan kegiatan yang variatif. Sehingga terhindarlah ia dari kebosanan dan rutinitas.
Keenam, mengenal kendala yang akan menghadang
Saudaraku…
Pengetahuan pelaku dakwah dan pejuang akan tabiat jalan yang hendak dilalui serta rambu-rambu yang ada, akan membuatnya siap, minimal tidak gentar, untuk menjalani rintangan yang akan datang. Allah berfirman:
“Dan beberapa banyak Nabi yang berperang bersama mereka sebagian besar karena bencana yang menimpa di jalan Allah, dan tidak pula lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)
Ketujuh, teliti dan sistemik dalam kerja.
Dengan perencanaan yang baik, Pembagian tugas yang jelas, serta kesadaran akan tanggung jawab yang diemban, dapat membuat harakah menjadi harakatul muntijah (harakah yang berhasil). Perencanaan akan menyadarkan pejuang, bahwa jalan yang ditempuh amat panjang. Tujuan yang akan dicapai amat besar. Karena itu juga dibutuhkan waktu, amal dan percobaan yang besar. Jika ini semua telah dimengerti, insya Allah akan tercapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan.
Kedelapan, memilih teman yang shalih
Rasulullah bersabda:
“Seseorang tergantung pada sahabatnya, maka hendaklah ia melihat dengan siapa ia berteman.” (H.R. Abu Daud)
Kesembilan, menghibur diri dengan hal yang mubah
Bercengkerama dengan keluarga, mengambil secukupnya kegiatan rekreatif serta memberikan hak badan secara cukup mampu membuat diri menjadi segar kembali untuk melanjutkan amal yang sedang dikerjakan.
Kesepuluh, mengingat mati, surga dan neraka
Rasulullah bersabda: “Jika sekiranya engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan banyak menangis dan sedikit tertawa.”
Saudaraku…
Ketahuilah, bahwa futur menyebabkan jalan dakwah yang harus di tempuh menjadi lebih panjang, sebab tidak mendapatkan ma’iyatullah (kebersamaan dan pembelaan Allah) dan daya intilaq(lompatan) kita menjadi lebih berat, baik karena borosnya biaya dan rontoknya para pejuang dan penyeru dakwah. Mudah-mudahan Allah selalu menjaga kita, Amin. Wallahu a’lam bis shawab

Oleh : Mahfudz Siddiq, MSi.